Bukhari Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah Kitabullah, dan sebaik-baik jalan hidup ialah jalan hidup Muhammad, sedangkan seburuk-buruk urusan agama ialah yang diada-adakan. Tiap-tiap yang diada-adakan adalah bid'ah, dan tiap bid'ah adalah sesat, dan tiap kesesatan (menjurus) ke neraka. (HR. BadruddinAl-'Aini di Syarhnya tentang shohih Al-Bukhori (126/11) beliau menjelaskan perkataan Umar bin Al-Khatab tentang sebaik-baiknya bid'ah. Apabila bid'ah berada dalam ruang lingkup kebaikan dan syari'at maka menjadi bid'ah hasanah, dan apabila bid'ah berada dalam ruang lingkup keburukan dalam pandangan syari'at maka menjadi bid'ah askumini tulisan sngat bagus,utamanya membuka cakrawala pemahaman tentang bid'ah,setau ane gada tradisi jahiliyah yg di islamkan,tapi napa para ulama kita dg mudahnya meng islamkan juga ukuran slah benarnya dlm ber islam adalah sunnah dan qu'an.jadi gasah nambah2lah,palagi bid'ah ko hasanah.lawong dah jelas setiap bid'ah itu dlolalah. afwan klo salah. Fast Money. Dalam kitab Risalah Ahlussunnah wal Jamaโ€™ah karya Hadratusy Syeikh Hasyim Asyโ€™ari, istilah "bidโ€™ah" ini disandingkan dengan istilah "sunnah". Seperti dikutip Hadratusy Syeikh, menurut Syaikh Zaruq dalam kitab Uddatul Murid, kata bidโ€™ah secara syaraโ€™ adalah munculnya perkara baru dalam agama yang kemudian mirip dengan bagian ajaran agama itu, padahal bukan bagian darinya, baik formal maupun hakekatnya. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW,โ€ Barangsiapa memunculkan perkara baru dalam urusan kami agama yang tidak merupakan bagian dari agama itu, maka perkara tersebut tertolakโ€. Nabi juga bersabda,โ€Setiap perkara baru adalah bidโ€™ahโ€. Menurut para ulamaโ€™, kedua hadits ini tidak berarti bahwa semua perkara yang baru dalam urusan agama tergolong bidah, karena mungkin saja ada perkara baru dalam urusan agama, namun masih sesuai dengan ruh syariโ€™ah atau salah satu cabangnya furuโ€™. Bidโ€™ah dalam arti lainnya adalah sesuatu yang baru yang tidak ada sebelumnya, sebagaimana firman Allah ุจูŽุฏููŠู’ุนู ุงู„ุณู‘ูŽู…ูˆุชู ูˆูŽุงู’ู„ุงูŽุฑู’ุถู โ€œAllah yang menciptakan langit dan bumiโ€. Al-Baqarah 2 117. Adapun bidโ€™ah dalam hukum Islam ialah segala sesuatu yang diada-adakan oleh ulamaโ€™ yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. Timbul suatu pertanyaan, Apakah segala sesuatu yang diada-adakan oleh ulamaโ€™ yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. pasti jeleknya? Jawaban yang benar, belum tentu! Ada dua kemungkinan; mungkin jelek dan mungkin baik. Kapan bidโ€™ah itu baik dan kapan bidโ€™ah itu jelek? Menurut Imam Syafiโ€™i, sebagai berikut; ุงูŽู„ู’ุจูุฏู’ุนูŽุฉู ูุจุฏู’ุนูŽุชูŽุงู†ู ู…ูŽุญู’ู…ููˆู’ุฏูŽุฉูŒ ูˆูŽู…ูŽุฐู’ู…ููˆู’ู…ูŽุฉูŒ, ููŽู…ูŽุงูˆูŽุงููŽู‚ูŽ ุงู„ุณู‘ูู†ู‘ูŽุฉูŽ ู…ูŽุญู’ู…ููˆู’ุฏูŽุฉูŒ ูˆูŽู…ูŽุงุฎูŽุงู„ูŽููŽู‡ูŽุง ููŽู‡ููˆูŽ ู…ูŽุฐู’ู…ููˆู’ู…ูŽุฉูŒ โ€œBidโ€™ah ada dua, bidโ€™ah terpuji dan bidโ€™ah tercela, bidโ€™ah yang sesuai dengan sunnah itulah yang terpuji dan bidโ€™ah yang bertentangan dengan sunnah itulah yang tercelaโ€. Sayyidina Umar Ibnul Khattab, setelah mengadakan shalat Tarawih berjamaโ€™ah dengan dua puluh rakaโ€™at yang diimami oleh sahabat Ubai bin Kaโ€™ab beliau berkata ู†ูุนู’ู…ูŽุชู ุงู’ู„ุจูุฏู’ุนูŽุฉู ู‡ุฐูู‡ู โ€œSebagus bidโ€™ah itu ialah iniโ€. Bolehkah kita mengadakan Bidโ€™ah? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita kembali kepada hadits Nabi SAW. yang menjelaskan adanya Bidโ€™ah hasanah dan bidโ€™ah sayyiah. ู…ูŽู†ู’ ุณูŽู†ู‘ูŽ ููู‰ ุงู’ู„ุงูุณู’ู„ุงูŽู…ู ุณูู†ู‘ูŽุฉู‹ ุญูŽุณูŽู†ูŽุฉู‹ ููŽู„ูŽู‡ู ุฃูŽุฌู’ุฑูู‡ูŽุง ูˆูŽุฃูŽุฌู’ุฑู ู…ูŽู†ู’ ุนูŽู…ูู„ูŽ ุจูู‡ูŽุง ู…ูู†ู’ ุบูŽูŠู’ุฑู ุงูŽู†ู’ ูŠูŽู†ู’ู‚ูุตูŽ ู…ูู†ู’ ุฃูุฌููˆู’ุฑูู‡ูู…ู’ ุดูŽูŠู’ุฆู‹ุง ูˆูŽู…ูŽู†ู’ ุณูŽู†ู‘ูŽ ููู‰ ุงู’ู„ุงูุณู’ู„ุงูŽู…ู ุณูู†ู‘ูŽุฉู‹ ุณูŽูŠูุฆูŽุฉู‹ ููŽุนูŽู„ูŽูŠู’ู‡ู ูˆูุฒู’ุฑูู‡ูŽุงูˆูŽูˆูุฒู’ุฑู ู…ูŽู†ู’ ุนูŽู…ูู„ูŽ ุจูู‡ูŽุง ู…ูู†ู’ ุบูŽูŠู’ุฑูุงูŽู†ู’ ูŠูŽู†ู’ู‚ูุตูŽ ู…ูู†ู’ ุฃูŽูˆู’ุฒูŽุงุฑูู‡ูู…ู’ ุดูŽูŠู’ุฆู‹ุง. ุงู„ู‚ุงุฆู‰, ุฌ 5ุต 76. โ€œBarang siapa yang mengada-adakan satu cara yang baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun, dan barang siapa yang mengada-adakan suatu cara yang jelek maka ia akan mendapat dosa dan dosa-dosa orang yang ikut mengerjakan dengan tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikit punโ€. Apakah yang dimaksud dengan segala bidโ€™ah itu sesat dan segala kesesatan itu masuk neraka? ูƒูู„ู‘ู ุจูุฏู’ุนูŽุฉู ุถูŽู„ุงูŽ ู„ูŽุฉู ูˆูŽูƒูู„ู‘ู ุถูŽู„ุงูŽ ู„ูŽุฉู ููู‰ ุงู„ู†ู‘ูŽุงุฑู โ€œSemua bidโ€™ah itu sesat dan semua kesesatan itu di nerakaโ€. Mari kita pahami menurut Ilmu Balaghah. Setiap benda pasti mempunyai sifat, tidak mungkin ada benda yang tidak bersifat, sifat itu bisa bertentangan seperti baik dan buruk, panjang dan pendek, gemuk dan kurus. Mustahil ada benda dalam satu waktu dan satu tempat mempunyai dua sifat yang bertentangan, kalau dikatakan benda itu baik mustahil pada waktu dan tempat yang sama dikatakan jelek; kalau dikatakan si A berdiri mustahil pada waktu dan tempat yang sama dikatakan duduk. Mari kita kembali kepada hadits. ูƒูู„ู‘ู ุจูุฏู’ุนูŽุฉู ุถูŽู„ุงูŽ ู„ูŽุฉู ูˆูŽูƒูู„ู‘ู ุถูŽู„ุงูŽ ู„ูŽุฉู ููู‰ ุงู„ู†ู‘ูŽุงุฑู โ€œSemua bidโ€™ah itu sesat dan setiap kesesatan itu masuk nerakaโ€. Bidโ€™ah itu kata benda, tentu mempunyai sifat, tidak mungkin ia tidak mempunyai sifat, mungkin saja ia bersifat baik atau mungkin bersifat jelek. Sifat tersebut tidak ditulis dan tidak disebutkan dalam hadits di atas; dalam Ilmu Balaghah dikatakan, ุญุฏู ุงู„ุตูุฉ ุนู„ู‰ ุงู„ู…ูˆุตูˆู โ€œmembuang sifat dari benda yang bersifatโ€. Seandainya kita tulis sifat bidโ€™ah maka terjadi dua kemungkinan Kemungkinan pertama ูƒูู„ู‘ู ุจูุฏู’ุนูŽุฉู ุญูŽุณูŽู†ูŽุฉู ุถูŽู„ุงูŽ ู„ูŽุฉูŒ ูˆูŽูƒูู„ู‘ู ุถูŽู„ุงูŽ ู„ูŽุฉู ููู‰ ุงู„ู†ู‘ูŽุงุฑู โ€œSemua bidโ€™ah yang baik sesat, dan semua yang sesat masuk nerakaโ€. Hal ini tidak mungkin, bagaimana sifat baik dan sesat berkumpul dalam satu benda dan dalam waktu dan tempat yang sama, hal itu tentu mustahil. Maka yang bisa dipastikan kemungkinan yang kedua ูƒูู„ู‘ู ุจูุฏู’ุนูŽุฉู ุณูŽูŠูุฆูŽุฉู ุถูŽู„ุงูŽ ู„ูŽุฉู ูˆูŽูƒูู„ู‘ู ุถูŽู„ุงูŽ ู„ูŽุฉู ููู‰ ุงู„ู†ู‘ูŽุงูุฑ โ€œSemua bidโ€™ah yang jelek itu sesat, dan semua kesesatan itu masuk nerakaโ€. -KH. Nuril Huda, Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama LDNU dalam "Ahlussunnah wal Jama'ah Aswaja Menjawab", diterbitkan oleh PP LDNU 100% found this document useful 1 vote4K views27 pagesDescriptionBeberapa Pertanyaan Tentang Bid'AhCopyrightยฉ ยฉ All Rights ReservedAvailable FormatsDOCX, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?100% found this document useful 1 vote4K views27 pagesBeberapa Pertanyaan Tentang Bid'AhJump to Page You are on page 1of 27 You're Reading a Free Preview Pages 7 to 15 are not shown in this preview. You're Reading a Free Preview Pages 20 to 25 are not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime. Perkataan yang sering dikemukakan oleh sebagian orang ketika membidโ€™ahkan suatu amalan, โ€œItu tidak pernah dilakukan oleh Nabi, dan para sahabat tidak pernah melakukannya. Seandainya itu perkara baik, niscaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya.โ€ Tark Tak Selalu Bermakna Tahrim Ketika Nabi tidak melakukan suatu halโ€“dalam istilah ilmu Ushul Fiqh disebut โ€œat-tarkโ€โ€” mengandung beberapa kemungkinan selain tahrim pengharaman. Mungkin saja Nabi tidak melakukan suatu hal hanya karena tidak terbiasa, atau karena lupa atau karena memang tidak terpikirkan sama sekali oleh beliau sebab sebagai manusia, Nabi yang suci dari dosa [maโ€™shum] diliputi pula oleh keterbatasan fisik dan lingkungan kulturalโ€”red, atau karena takut hal tersebut difardlukan atas umatnya sehingga memberatkan atau karena hal tersebut sudah masuk dalam keumuman sebuah ayat atau hadits atau kemungkinan-kemungkinan yang lain. Jelas bahwa tidak mungkin Nabi bisa melakukan semua hal yang dianjurkan, karena begitu sibuknya beliau dengan tugas-tugas dakwah, kemasyarakatan atau kenegaraan. Jadi, hanya karena Nabi tidak melakukan sesuatu lalu sesuatu itu diharamkan, ini adalah istinbath yang keliru. Demikian juga ketika para ulama salaf tidak melakukan suatu hal itu mengandung beberapa kemungkinan. Mungkin saja mereka tidak melakukannya karena kebetulan saja, atau karena menganggapnya tidak boleh atau menganggapnya boleh tetapi ada yang lebih afdlal sehingga mereka melakukan yang lebih afdlal, dan beberapa kemungkinan lain. Jika demikian halnya at-tark tidak melakukan saja tidak bisa dijadikan dalil, karena kaidah mengatakan ู…ูŽุง ุฏูŽุฎูŽู„ูŽู‡ู ุงู„ุงุญู’ุชูู…ูŽุงู„ู ุณูŽู‚ูŽุทูŽ ุจูู‡ู ุงู„ุงุณู’ุชูุฏู’ู„ุงูŽู„ู "Dalil yang mengandung beberapa kemungkinan tidak bisa lagi dijadikan dalil untuk salah satu kemungkinan saja tanpa ada dalil lain". Oleh karena itu al Imam asy-Syafi'i mengatakan ูƒูู„ู‘ู ู…ูŽุง ู„ูŽู‡ู ู…ูุณู’ุชูŽู†ูŽุฏูŒ ู…ูู†ูŽ ุงู„ุดู‘ูŽุฑู’ุนู ููŽู„ูŽูŠู’ุณูŽ ุจูุจูุฏู’ุนูŽุฉู ูˆูŽู„ูŽูˆู’ ู„ูŽู…ู’ ูŠูŽุนู’ู…ูŽู„ู’ ุจูู‡ู ุงู„ุณู‘ูŽู„ูŽูู "Setiap perkara yang memiliki sandaran dari syara' bukanlah bid'ah meskipun tidak pernah dilakukan oleh ulama salaf." Jadi, perlu diketahui bahwa ada sebuah kaidah ushul fiqh ุชูŽุฑู’ูƒู ุงู„ุดู‘ูŽู‰ู’ุกู ู„ุงูŽ ูŠูŽุฏูู„ู‘ู ุนูŽู„ูŽู‰ ู…ูŽู†ู’ุนูู‡ู "Tidak melakukan sesuatu tidak menunjukkan bahwa sesuatu tersebut terlarang". At-tark yang dimaksud adalah ketika Nabi tidak melakukan sesuatu atau salaf tidak melakukan sesuatu, tanpa ada hadits atau atsar lain yang melarang untuk melakukan sesuatu yang ditinggalkan tersebut yang menunjukkan keharaman atau kemakruhannya. Jadi at-tark saja tidak menunjukkan keharaman sesuatu. At-tark saja jika tidak disertai nash lain yang menunjukkan bahwa al-matruk dilarang bukanlah dalil bahwa sesuatu itu haram, paling jauh itu menunjukkan bahwa meninggalkan sesuatu itu boleh. Sedangkan bahwa sesuatu itu dilarang tidak bisa dipahami dari at-tark saja, tetapi harus diambil dari dalil lain yang menunjukkan pelarangan, jika tidak ada berarti tidak terlarang dengan dalil at-tark saja. Perlu diketahui bahwa pengharaman sesuatu hanya bisa diambil dari salah satu di antara tiga hal ada 1 nahy larangan, atau 2 lafazh tahrim atau 3 dicela dan diancam pelaku suatu perbuatan dengan dosa atau siksa. Karena at-tark tidak termasuk dalam tiga hal ini berarti at-tark bukan dalil pengharaman. Karena itulah Allah berfirman ูˆูŽู…ูŽุขุกูŽุงุชูŽุงูƒูู…ู ุงู„ุฑู‘ูŽุณููˆู„ู ููŽุฎูุฐููˆู‡ู ูˆูŽู…ูŽุงู†ูŽู‡ูŽุงูƒูู…ู’ ุนูŽู†ู’ู‡ู ููŽุงู†ุชูŽู‡ููˆุง Maknanya "..Apa yang diberikan Rasulullah kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlahโ€ฆ" al Hasyr 7 Allah tidak menyatakan ูˆูŽู…ูŽุง ุขุชูŽุงูƒูู…ู ุงู„ุฑู‘ูŽุณููˆู’ู„ู ููŽุฎูุฐููˆู’ู‡ู ูˆูŽู…ูŽุง ุชูŽุฑูŽูƒูŽู‡ู ููŽุงู†ู’ุชูŽู‡ููˆู’ุง ุนูŽู†ู’ู‡ู "Apa yang diberikan Rasulullah kepadamu maka terimalah dia dan apa yang ditinggalkannya maka tinggalkanlah." Al Imam Abu Sa'id ibn Lubb mengatakan "ููŽุงู„ุชู‘ูŽุฑู’ูƒู ู„ูŽูŠู’ุณูŽ ุจูู…ููˆู’ุฌูุจู ู„ูุญููƒู’ู…ู ูููŠ ุฐูŽู„ููƒูŽ ุงู„ู’ู…ูŽุชู’ุฑููˆู’ูƒู ุฅูู„ุงู‘ูŽ ุฌูŽูˆูŽุงุฒูŽ ุงู„ุชู‘ูŽุฑู’ูƒู ูˆูŽุงู†ู’ุชูููŽุงุกูŽ ุงู„ู’ุญูŽุฑูŽุฌู ูููŠู’ู‡ูุŒ ูˆูŽุฃูŽู…ู‘ูŽุง ุชูŽุญู’ุฑููŠู’ู…ูŒ ุฃูŽูˆู’ ู„ูุตููˆู’ู‚ู ูƒูŽุฑูŽุงู‡ููŠูŽุฉู ุจูุงู„ู’ู…ูŽุชู’ุฑููˆู’ูƒู ููŽู„ุงูŽุŒ ูˆูŽู„ุงูŽ ุณููŠู‘ูŽู…ูŽุง ูููŠู’ู…ูŽุง ู„ูŽู‡ู ุฃูŽุตู’ู„ูŒ ุฌูู…ู’ู„ููŠู‘ูŒ ู…ูุชูŽู‚ูŽุฑู‘ูุฑูŒ ู…ูู†ูŽ ุงู„ุดู‘ูŽุฑู’ุนู ูƒูŽุงู„ุฏู‘ูุนูŽุงุกู". "Jadi at-tark tidak memiliki akibat hukum apa pun terhadap al Matruk kecuali hanya kebolehan meninggalkan al Matruk dan ketiadaan cela dalam meninggalkan hal tersebut. Sedangkan pengharaman atau pengenaan kemakruhan terhadap al Matruk itu tidak ada padanya, apalagi dalam hal yang tentangnya terdapat dalil umum dan global dari syara' seperti doa misalnya". Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Syarh al Bukhari ู‚ูŽุงู„ูŽ ุงุจู’ู†ู ุจูŽุทู‘ูŽุงู„ู ููุนู’ู„ู ุงู„ุฑู‘ูŽุณููˆู’ู„ู ุฅูุฐูŽุง ุชูŽุฌูŽุฑู‘ูŽุฏูŽ ุนูŽู†ู ุงู„ู‚ูŽุฑูŽุงุฆูู†ู โ€“ูˆูŽูƒูŽุฐูŽุง ุชูŽุฑู’ูƒูู‡ู- ู„ุงูŽ ูŠูŽุฏูู„ู‘ู ุนูŽู„ูŽู‰ ูˆูุฌููˆู’ุจู ูˆูŽุชูŽุญู’ุฑููŠู’ู…ู "Ibnu Baththal mengatakan, Perbuatan Rasulullah jika tidak ada qarinah konteks, red lain โ€“demikian pula tark-nyaโ€”tidak menunjukkan kewajiban dan keharamanโ€™." Kitab Fathul Bari, 9/14 Jadi perkataan al Hafizh Ibnu Hajar "ูˆูŽูƒูŽุฐูŽุง ุชูŽุฑู’ูƒูู‡ู" menunjukkan bahwa at-tark saja mujarrad at-tark tidak menunjukkan pengharaman. Perihal Tuntutan โ€œMana Dalilnya?โ€ Sebagian kalangan sering mengatakan ketika melihat orang melakukan suatu amalan, โ€œIni tidak ada dalilnya!โ€, dengan maksud tidak ada ayat atau hadits khusus yang berbicara tentang masalah tersebut. Pertama, dalam ushul fiqh dijelaskan bahwa jika sebuah ayat atau hadits dengan keumumannya mencakup suatu perkara, itu menunjukkan bahwa perkara tersebut masyru'. Jadi keumuman ayat atau hadits adalah dalil syar'i. Dalil-dalil umum tersebut adalah seperti ูˆูŽุงูู’ุนูŽู„ููˆุง ุงู„ู’ุฎูŽูŠู’ุฑูŽ ู„ูŽุนูŽู„ู‘ูŽูƒูู…ู’ ุชููู’ู„ูุญููˆู†ูŽ Maknanya โ€œDan lakukan kebaikan supaya kalian beruntungโ€ al Hajj 77 Jadi dalil yang umum diberlakukan untuk semua cakupannya. Kaidah mengatakan ุงู„ุนูŽุงู…ู‘ู ูŠูุนู’ู…ูŽู„ู ุจูู‡ู ูููŠู’ ุฌูŽู…ููŠู’ุนู ุฌูุฒู’ุฆููŠู‘ูŽุงุชูู‡ู "Dalil yang umum diterapkan digunakan dalam semua bagian-bagian cakupannya." Ini sangat bertentangan dengan kebiasaan sebagian orang. Sebagian orang tidak menganggap cukup sebagai dalil dalam suatu masalah tertentu bahwa hal tersebut dicakup oleh keumuman sebuah dalil. Mereka selalu menuntut dalil khusus tentang masalah tersebut. Sikap seperti ini sangat berbahaya dan bahkan bisa mengantarkan kepada kekufuran tanpa mereka sadari. Karena jika setiap peristiwa atau masalah disyaratkan untuk dikatakan masyru' dan tidak disebut sebagai bid'ah bahwa ada dalil khusus tentangnya, niscaya akan tidak berfungsi keumuman Al-Qur'an dan Sunnah dan tidak sah lagi berdalil dengan keumuman tersebut. Ini artinya merobohkan sebagian besar dalil-dalil syar'i dan mempersempit wilayah hukum dan itu artinya bahwa syari'at ini tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan tentang hukum peristiwa-peristiwa yang terus berkembang dengan berkembangnya zaman. Ini semua adalah akibat-akibat yang bisa mengantarkan kepada penghinaan dan pelecehan terhadap syari'at, padahal jelas penghinaan terhadap syari'at merupakan kekufuran yang sangat nyata. Kedua, dalam menetapkan hukum suatu permasalahan tidak diharuskan ada banyak dalil; berupa beberapa ayat atau beberapa hadits misalnya. Jika memang sudah ada satu hadits saja, misalnya, dan para mujtahid menetapkan hukum berdasarkan hadits tersebut maka hal itu sudah cukup. Ketiga, dalam beristidlal sering dijumpai adanya hadits yang diperselisihkan status dan kehujjahannya di kalangan para ulama hadits sendiri. Perbedaan penilaian terhadap suatu hadits inilah salah satu faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat di kalangan para ulama mujtahid. Seandainya bukan karena hal ini, niscaya para ulama tidak akan berbeda pendapat dalam sekian banyak masalah furuโ€™ dalam bab ibadah dan muโ€™amalah. Oleh karenanya, jika ada hadits yang statusnya masih diperselisihkan di kalangan para ahli maka sah-sah saja jika kita mengikuti salah seorang ulama hadits, apalagi jika yang kita ikuti betul-betul ahli di bidangnya seperti Ibnu Hibban, Abu Dawud, at-Tirmidzi, al Hakim, al Bayhaqi, an-Nawawi, al Hafizh Ibnu Hajar, as-Sakhawi, as-Suyuthi dan semacamnya. Karena memang menurut para ulama hadits sendiri, hadits itu ada yang muttafaq ala shihhatihi dan ada yang mukhtalaf fi shihhatihi Lihat as-Suyuthi, al-Hawi lil Fataawi 2/210, Risalah Bulugh al Maโ€™mul fi Khidmah ar-Rasul. Dari penjelasan ini diketahui bahwa jika ada sebagian kalangan yang mengira bahwa hanya mereka yang mengetahui hadits yang sahih dan hanya mereka yang memiliki hadits yang sahih, hadits yang ada pada mereka saja yang sahih dan semua hadits yang ada pada selain mereka tidak sahih, maka orang seperti ini betul-betul tidak mengerti tentang apa yang dia katakan. Orang seperti ini tidak tahu menahu tentang ilmu hadits dan para ahli hadits yang sebenarnya. Hati-hati Terperosok! Ada sebuah kaidah yang sangat penting dalam beristidlalโ€”orang yang tidak mengetahuinya bisa terperosok dalam kesesatan mengharamkan perkara yang dihalalkan oleh Allah atau sebaliknya. Al Hafizh al Faqih al Khathib al Baghdadi menyebutkan kaidah tersebut dalam kitab al-Faqih wal Mutafaqqih h. 132 ูˆูŽุฅูุฐูŽุง ุฑูŽูˆูŽู‰ ุงู„ุซู‘ูู‚ูŽุฉู ุงู„ู’ู…ูŽุฃู’ู…ููˆู’ู†ู ุฎูŽุจูŽุฑู‹ุง ู…ูุชู‘ูŽุตูู„ูŽ ุงู„ุฅูุณู’ู†ูŽุงุฏู ุฑูุฏู‘ูŽ ุจูุฃูู…ููˆู’ุฑู" ุซูู…ู‘ูŽ ู‚ูŽุงู„ูŽ "ูˆูŽุงู„ุซู‘ูŽุงู†ููŠู’ ุฃูŽู†ู’ ูŠูุฎูŽุงู„ูููŽ ู†ูŽุตู‘ูŽ ุงู„ู’ูƒูุชูŽุงุจู ุฃูŽูˆู’ ุงู„ุณู‘ูู€ู†ู‘ูŽุฉู ุงู„ู’ู…ูุชูŽูˆูŽุงุชูุฑูŽุฉู ููŽูŠูุนู’ู„ูŽู…ู ุฃูŽู†ู‘ูŽู‡ู ู„ุงูŽ ุฃูŽุตู’ู„ูŽ ู„ูŽู‡ู ุฃูŽูˆู’ ู…ูŽู†ู’ุณููˆู’ุฎูŒุŒ ูˆูŽุงู„ุซู‘ูŽุงู„ูุซู ุฃูŽู†ู’ ูŠูุฎูŽุงู„ูููŽ ุงู„ุฅูุฌู’ู…ูŽุงุนูŽ ููŽูŠูุณู’ุชูŽุฏูŽู„ู‘ู ุนูŽู„ูŽู‰ ุฃูŽู†ู‘ูŽู‡ู ู…ูŽู†ู’ุณููˆู’ุฎูŒ ุฃูŽูˆู’ ู„ุงูŽ ุฃูŽุตู’ู„ูŽ ู„ูŽู‡ูุŒ ู„ุฃูŽู†ู‘ูŽู‡ู ู„ุงูŽ ูŠูŽุฌููˆู’ุฒู ุฃูŽู†ู’ ูŠูŽูƒููˆู’ู†ูŽ ุตูŽุญููŠู’ุญู‹ุง ุบูŽูŠู’ุฑูŽ ู…ูŽู†ู’ุณููˆู’ุฎู ูˆูŽุชูุฌู’ู…ูุนู ุงู„ุฃูู…ู‘ูŽุฉู ุนูŽู„ูŽู‰ ุฎูู„ุงูŽููู‡ู "Jika seorang perawi yang tsiqah ma'mun terpercaya meriwayatkan hadits yang bersambung sanadnya, hadits itu bisa tertolak karena beberapa hal. Kemudian beliau mengatakan Kedua hadits tersebut menyalahi nash Al-Qurโ€™an, hadits mutawatir, sehingga dari sini diketahui bahwa hadits tersebut sebenarnya tidak memiliki asal atau mansukh telah dihapus dan tidak berlaku lagi. Ketiga hadits tersebut menyalahi ijma', sehingga itu menjadi petunjuk bahwa hadits tersebut sebenarnya mansukh atau tidak memiliki asal, karena tidak mungkin hadits tersebut sahih dan tidak mansukh lalu umat sepakat untuk menyalahinya". Orang yang tidak mengetahui kaidah ini bisa mengharamkan perkara yang dihalalkan oleh Allah, seperti sebagian orang yang mengaku mujtahid di masa kini yang mengharamkan bagi perempuan untuk memakai perhiasan emas yang berbentuk lingkaran adz-Dzahab al Muhallaq seperti cincin, gelang, kalung, anting dan semacamnya. Pengharaman itu dikarenakan ia menemukan beberapa hadits yang sahih menurutnya yang mengharamkan perhiasan emas tersebut. Padahal hadits-hadits tersebut sebenarnya menyalahi nash Al-Qur'an seperti firman Allah ุฃูŽูˆูŽ ู…ูŽู† ูŠูู†ูŽุดู‘ูŽุคูุง ูููŠ ุงู„ู’ุญูู„ู’ูŠูŽุฉู ูˆูŽู‡ููˆูŽ ูููŠ ุงู„ู’ุฎูุตูŽุงู…ู ุบูŽูŠู’ุฑู ู…ูุจููŠู†ู Maknanya "Dan apakah patut menjadi anak Allah orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran". az-Zukhruf 18 Hadits-hadits tersebut juga menyalahi ijma' sehingga dengan begitu diketahui bahwa hadits tersebut telah dinasakh telah dihapus dan tidak berlaku lagi. Al Hafizh al Bayhaqi mengatakan ููŽู‡ุฐูู‡ู ุงู„ุฃูŽุฎู’ุจูŽุงุฑู ุฃูŽูŠู’ ูููŠู’ ุงู„ุฅูุจูŽุงุญูŽุฉู ูˆูŽู…ูŽุง ูˆูŽุฑูŽุฏูŽ ูููŠู’ ู…ูŽุนู’ู†ูŽุงู‡ูŽุง ุชูŽุฏูู„ู‘ู ุนูŽู„ูŽู‰ ุฅูุจูŽุงุญูŽุฉู ุงู„ุชู‘ูŽุญูŽู„ู‘ููŠู’ ุจูุงู„ุฐู‘ูŽู‡ูŽุจู ู„ูู„ู†ู‘ูุณูŽุงุกูุŒ ูˆูŽุงุณู’ุชูŽุฏู’ู„ูŽู„ู’ู†ูŽุง ุจูุญูุตููˆู’ู„ู ุงู„ุฅูุฌู’ู…ูŽุงุนู ุนูŽู„ูŽู‰ ุฅูุจูŽุงุญูŽุชูู‡ู ู„ูŽู‡ูู†ู‘ูŽ ุนูŽู„ูŽู‰ ู†ูŽุณู’ุฎู ุงู„ุฃูŽุฎู’ุจูŽุงุฑู ุงู„ุฏู‘ูŽุงู„ู‘ูŽุฉู ุนูŽู„ูŽู‰ ุชูŽุญู’ุฑููŠู’ู…ูู‡ู ูููŠู’ู‡ูู†ู‘ูŽ ุฎูŽุงุตู‘ูŽุฉู‹ "Jadi hadits-hadits ini dan semacamnya menunjukkan dibolehkannya berhias dengan emas bagi perempuan, dan kita menjadikan adanya ijma' atas kebolehan permpuan memakai perhiasan emas sebagai dalil bahwa hadits-hadits yang mengharamkan emas bagi perempuan secara khusus telah dinasakh" Lebih lanjut lihat Syekh Abdullah al Harari, Sharih al Bayan, 2/20-22. Anehnya, di sisi lain, orang-orang semacam ini ketika bertemu dengan hadits yang bertentangan dengan pendapat mereka, dengan mudah mereka mengklaim bahwa hadits tersebut mansukh atau khusus berlaku bagi Nabi tanpa ada dalil yang menunjukkan nasakh atau-pun khushushiyyah. Tetapi dalam hal yang oleh para ulama ditegaskan ada nasikh mereka tidak mau mengikutinya sambil berlagak menegakkan dan membela sunnah Nabi. Teladan Toleransi Ulama Salaf Dalam bidang furuโ€™ tidak pernah salah seorang dari para ulama mujtahid mengklaim bahwa dirinya saja yang benar dan selainnya sesat. Mereka tidak pernah mengatakan kepada mujtahid lain yang berbeda pendapat dengan mereka bahwa anda sesat dan haram orang mengikuti anda. Umar bin al Khaththab tidak pernah mengatakan hal itu kepada Ali bin Abi Thalib ketika mereka berbeda pendapat, demikian pula sebaliknya Ali tidak pernah mengatakan hal seperti itu kepada Umar. Demikian pula para ulama ahli ijtihad yang lain seperti Imam Abu Hanifah, Malik, Syafiโ€™i, Ahmad bin Hanbal, Ibnu al Mundzir, Ibnu Jarir ath-Thabari dan lainnya. Mereka juga tidak pernah melarang orang untuk mengikuti mazhab orang lain selama yang diikuti memang seorang ahli ijtihad. Mereka juga tidak pernah berambisi mengajak semua umat Islam untuk mengikuti pendapatnya. Mereka tahu betul bahwa perbedaan dalam masalah-masalah furuโ€™ telah terjadi sejak awal di masa para sahabat Nabi dan mereka tidak pernah saling menyesatkan atau melarang orang untuk mengikuti salah satu di antara mereka. Dalam berbeda pendapat, mereka berpegang pada sebuah kaidah yang disepakati ู„ุงูŽ ูŠูู†ู’ูƒูŽุฑู ุงู„ู’ู…ูุฎู’ุชูŽู„ูŽูู ูููŠู’ู‡ู ูˆูŽุฅูู†ู‘ูŽู…ูŽุง ูŠูู†ู’ูƒูŽุฑู ุงู„ู’ู…ูุฌู’ู…ูŽุนู ุนูŽู„ูŽูŠู’ู‡ู โ€œTidak diingkari orang yang mengikuti salah satu pendapat para mujtahid dalam masalah yang memang diperselisihkan hukumnya mukhtalaf fih di kalangan mereka, melainkan yang diingkari adalah orang yang menyalahi para ulama mujtahid dalam masalah yang mereka sepakati hukumnya mujmaโ€™ alayhi.โ€ Lihat as-Suyuthi, al-Asybaah wa an-Nazha-ir, h. 107, Syekh Yasin al Fadani, al-Fawa-id al-Janiyyah, h. 579-584 Maksud dari kaidah ini bahwa jika para ulama mujtahid berbeda pendapat tentang suatu permasalahan, ada yang mengatakan wajib, sunnah atau makruh, haram, atau boleh dan tidak boleh, maka tidak dilarang seseorang untuk mengikuti salah satu pendapat mereka. Tetapi jika hukum suatu permasalahan telah mereka sepakati, mereka memiliki pendapat yang sama dan satu tentang masalah tersebut maka tidak diperbolehkan orang menyalahi kesepakatan mereka tersebut dan mengikuti pendapat lain atau memunculkan pendapat pribadi yang berbeda. Wallahu a'lam. Ustadz Nur Rohmad, Dewan Pakar Aswaja NU Center PCNU Kabupaten Mojokerto

pertanyaan tentang bid ah